Pages

Friday, April 5, 2013

Shafa dan Marwah Menuju Kesucian Diri

Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syi`ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa`i antara keduanya. Dan siapa mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Baqarah Ayat 158)

Salah satu pelaksanaan ibadah haji yang tidak kalah pentingnya adalah lari-lari kecil (sa’i) dari Shafa ke Marwah. Ada dua catatan sejarah yang mengandung filosopis dalam peristiwa ini. Pertama, upaya serius yang dilakukan oleh ibunda Nabi Ismail yaitu lari selama tujuh kali untuk mendapatkan air. Kedua, perbuatan ini menurut catatan historis adalah untuk memperlihatkan kegagahan pasukan Rasulullah di hadapan musuh guna menghapus prasangka bahwa pasukan Rasulullah kurang gizi atau tidak bersemangat.

Kedua tujuan di atas sekalipun tidak bersifat permanen untuk tujuan-tujuan selanjutnya namun hal ini mengisyaratkan bahwa dalam setiap pelaksanaan Sa’i dari Shafa ke Marwah memiliki tujuan-tujuan khusus. Tujuan khusus dimaksud dapat dipermanenkan jika nilai-nilai filosopisnya dapat dipahami terlebih lagi bila dikaitkan dengan persoalan moral. Mengingat bahwa semua pelaksanaan ibadah haji berkaitan dengan persoalan mental, moral dan spritual maka Shafa dan Marwah juga memiliki tujuan hal yang sama pula.

Shafa maknanya adalah bersih dan suci, dan bahkan kata ini seakar dengan kata ‘tashawuf’ yaitu mensucikan diri untuk mengakses Zat Yang Mahasuci yaitu Allah swt. Marwah selalu diartikan dengan muruah yaitu harga diri yang tinggi dan karenanya banyak yang mempertaruhkan hidupnya guna menjaga muruah (harga dirinya), namun sebaliknya orang-orang yang tidak menjaga muruahnya dianggap sebagai manusia yang tidak memiliki nilai-nilai idealis.

Perbuatan haji yang dilakukan melalui Sa’i dari Shafa ke Marwah diharapkan dapat mengantarkan pelakunya menjadi manusia yang paripurna. Dan oleh karena itu tinjauan terhadap pelaksanaan ini tidak lagi hanya terbatas kepada konsep sah dan tidak sah akan tetapi yang sangat perlu untuk diperhatikan adalah sejauh mana nilai-nilai spritual yang dikandungnya telah merasuk ke dalam jiwa pelakunya.

Kedudukan Shafa dan Marwah dalam al-Qur’an disebutkan sebagai salah satu syi’ar-syi’ar Allah. Ungkapan ini merupakan alasan tentang pelaksanaan sa’i yang harus dilakukan di kedua tempat ini. Selain itu ungkapan ini juga menunjukkan bahwa Shafa dan Marwah memiliki nilai-nilai keistimewaan tersendiri dan karenanya al-Qur’an menyebutnya sebagai syi’ar Allah.

Potensi ini dapat dipahami melalui pengakuan al-Qur’an di atas dimana Shafa dan Marwah ditetapkan sebagai tempat melakukan Sa’i sewaktu pelaksanaan ibadah haji dan juga umrah. Ungkapan tentang syi’ar Allah menunjukkan bahwa kedua tempat ini sangat potensial melakukan pensucian diri menuju keparipurnaan diri.

Kesucian diri adalah tujuan yang paling fundamental dari pelaksanaan Sa’i yaitu lari-lari kecil dari Shafa ke Marwah. Start yang baik, mekanisme yang jelas, batas tujuan yang tepat, semangat dan etos kerja yang tinggi adalah merupakan pelajaran berharga yang diinginkan dari pelaksanaan sa’i melalui dua tempat ini. Semua pelajaran ini dapat dijadikan sebagai alat perjuangan untuk mensucikan diri menuju keparipurnaan diri.

Start yang dilakukan dari Shafa seharusnya disesuaikan dengan makna Shafa itu sendiri yaitu menanamkan sebuah tekad untuk menghilangkan semua kotoran-kotoran yang terdapat dalam diri. Tekad yang dulunya masih sebatas suara hati kini dijewantahkan dalam bentuk perbuatan pisik yaitu dengan melakukan sa’i. Perbuatan ini sebagai lambang pengakuan manusia di hadapan Yang Mahakuasa bahwa yang bersangkutan benar-benar ingin mendapatkan nilai kesucian diri.

Garis finish yang ditawarkan oleh al-Qur’an untuk mengakhiri ‘petualangan’ mencari kesucian diri ini adalah Marwah yaitu sebuah tempat untuk mengakhiri aktifitas Sa’i namun finish ini dapat juga menjadi start. Makna yang dapat ditangkap dari ungkapan ini adalah bahwa upaya pensucian diri harus dilakukan melalui berbagai aspek dan rutin karena kesucian diri dapat saja ternoda setiap saat.

Fungsi ganda ini (kadang-kadang menjadi start dan finish) mengisyaratkan bahwa upaya pensucian diri dapat dilakukan dari bawah ke atas atau dari atas ke bawah. Adapun yang dimaksud dari bawah ke atas yaitu melakukan pengenalan diri (ma’rifatunnafs) dengan segala keterbatasannya. Sedangkan yang dimaksud dari atas ke bawah ialah melakukan pengenalan terhadap Allah (ma’rifatullah) dengan segala keagungan dan kebesaran-Nya.

Penyebutan kata Marwah dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa sasaran yang dituju harus tepat supaya pencarian diri tidak melenceng kepada hal-hal yang lain. Batas kedua tempat ini tidaklah terlalu jauh dan karenanya harapan yang ingin disampaikan adalah rutinitas dan kesungguhan bukan jarak tempuh yang jauh dan memberatkan. Ungkapan ini menujukkan bahwa pensucian diri tidak harus dilakukan melalui penyiksaan diri seperti tidak mau memakan makanan yang bergizi atau memakai pakaian yang lusuh dan kumuh.

Mekanisme yang diajarkan dalam upaya pensucian diri ini cukup jelas dan tegas yaitu dengan melakukan lari-lari kecil secara rutinitas. Pembatasan bentuk ibadah ini adalah merupakan komitmen dari Allah yang harus diyakini nilai-nilai keefektifannya. Oleh karena itu komitmen ini hanya sebatas penangkapan makna filosopis dan tidak harus dilakukan secara emosional yang berlebihan dengan melakukan lari dengan sekuat tenaga.

Kemudian mekanisme ini juga mengisyaratkan bahwa pensucian diri harus dilakukan secara perlahan tetapi pasti supaya mudah mengadakan evaluasi karena penyucian diri yang dilakukan sekaligus akan cepat membosankan. Pada prinsipnya upaya pensucian diri yang dilakukan secara perlahan terkesan lebih efektif dan lebih bertahan daripada melakukannya sekaligus.

Lari dari Shafa ke Marwah yang dilakukan dengan berulang kali menunjukkan bahwa untuk mencapai tujuan yang sangat besar tidak cukup dilakukan hanya sekali saja tapi harus dilakukan berulang kali. Selain itu perbuatan ini juga mengisyaratkan adanya semangat dan etos kerja yang tinggi plus kesabaran agar hasil yang diperoleh benar-benar memiliki nilai yang maksimal dan memuaskan.

Perbuatan haji dengan melakukan lari-lari kecil dari Shafa ke Marwah memiliki nilai-nilai spritual yang signifikan. Nilai-nilai spritual dimaksud mampu mengantarkan seseorang mencapai keparipurnaan diri baik yang berkaitan dengan hubungan kepada Allah maupun hubungan kepada sesama manusia.

Berdasarkan makna di atas maka dapat dipahami bahwa Shafa dan Marwah memiliki kaitan dengan diri khususnya dalam persoalan nilai-nilai. Asumsi ini diperkuat lagi dengan perbuatan Sa’i yang dilakukan berulang kali dan hal ini menunjukkan bahwa untuk memperoleh nilai-nilai kesucian diri harus dilakukan dengan serius dan rutin.

Sumber:

Pengertian Al-Birru

Secara bahasa kata al-birru (bahasa Arab) merupakan kata benda bentuk masdar yang memiliki banyak arti, di antaranya: ketaatan, kesalehan, kebaikan, belas kasih, kebenaran, hal banyak berbuat kebajikan, kedermawanan, surga, hati. Adapun asal kata Al-birru adalah dari barra–yaburru–burran/birran yang artinya taat berbakti, bersikap baik-sopan, benar (tidak berdusta), benar (dilaksanakan sesuai dengan sumpahnya), menerima, diterima, banyak berbuat kebajikan (Al-Munawwir, 2002:73-74). Al-birru dapat juga berarti hubungan, berupaya dalam kebaikan (Al-Fairuzi, 1995:384).

Menurut Budiharjo (1994:29) bahwa kata al-birr itu sepadan dengan kata al-hasan, al-khair, al-shâlih, al-thayyib dan al-ma’rûf[1]. Kata al-birr berarti “baik” jika dihubungkan dengan orang tua, “mabrur” jika dihubungkan dengan haji, “benar “jika dihubungkan dengan janji, “laris” jika dihubungkan dengan dagangan, “terhindar subhat, dusta dan khianat” jika dihubungkan dengan jual beli, ”memperbanyak ketaatan” jika dihubungkan dengan Tuhan. Dan “memperbanyak berbuat baik” jika dihubungkan dengan orang tua. Lawan kata dari Al-birru (yang dihubungkan dengan orang tua) adalah Al-‘Uqûq yang berarti durhaka. Kata Al-‘Uqûq berasal dari ‘aqqa–ya’uqqu–‘aqqan,‘uqqûq berarti merobek, membelah, mengkekahi, durhaka (tidak taat) (Al-Munawwir, 2002:956).

Dengan penjelasan tersebut maka pengertian al-birr adalah bisa ketaatan, kesalehan, kebaikan, belas kasih, kebenaran, hal banyak berbuat kebajikan, kedermawanan, surga, hati, menerima, diterima, mabrur, laris, terhindar dari subhat; dusta dan khianat.

sumber:
http://luqmanabat.blogspot.com/